Selasa, 05 Februari 2008

Berita Rekan

IKBI dan Visi Penguatan Umat di Masa Depan
Oleh: Surya Makmur Nasution
Anggota Dewan Penasihat IKBI (2004-2007)

Ikatan Keluarga Batak Islam (IKBI) Kota Batam punya hajatan ‘akbar’. Rencananya pada hari Minggu, 20 Januari 2008 atau 11 Muharram 1429 H, organisasi paguyuban etnis Batak (Mandailing, Angkola, Karo, Simalungun dan Toba) beragama Islam ini akan melaksanakan Musyawarah Besar (Mubes) II.
Sebagaimana lazimnya, dalam pelaksanaan Mubes, salah satu agenda yang hangat dibicarakan adalah pemilihan calon ketua umum sebagai lokomotif pembawa gerbong yang meneruskan estafet kepemimpinan dalam organisasi.


Kenapa pembicaraan calon ketua umum begitu menarik perhatian para anggota, argumentasinya beragam dan bervariasi. Tergantung dari sudut pandang atau perspektif apa yang digunakan untuk melihatnya.
Ada yang melihatnya dari sudut pandang keorganisasian sebagai kerja rutinitas belaka dalam pergantian pengurus untuk masa satu periode kepengurusan.


Ada yang melihat dari sudut pandang politis yang menyeretnya dalam kepentingan politik tertentu. Sehingga muncullah isyu-isyu yang terkadang sampai memunculkan wacana adanya rivalitas yang menghadapkan satu kandidat dengan kandidat lain dalam bingkai “pertarungan” perebutan “kekuasaan”. Sehingga jegal menjegal terhadap kandidat pun seperti dihalalkan. Padahal, sungguh tidak dikehendaki.
Pada sisi lain, ada juga yang melihatnya dari sudut pandang sebagai tanggungjawab moral untuk menjaga dan meneruskan serta memperbaiki kinerja organisasi. Tujuannya menginginkan adanya perubahan dan perbaikan untuk menguatkan dan meningkatkan kinerja organisasi. Biasanya, para anggota begitu kritis mengeritik kelompok status quo atau pengurus sebelumnya yang dirasakan belum dapat memenuhi amanah organisasi, sehingga menghendaki perubahan kepemimpinan.
Ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan, pentingnya membicarakan pergantian kepemimpinan di tubuh organisasi.


Pertama, posisi ketua umum sebagai orang ‘nomor satu’ di organisasi begitu penting dan strategis perannya dalam menggerakkan kerja-kerja keorganisasian. Jika sang pemimpin tidak terampil dalam mengomunikasikan, mengelola dan menata organisasi, dapat dipastikan kinerja dan program organisasi yang telah disusun sedemikian rupa tidak akan berjalan, alias mati suri.


Kedua, posisi ketua umum adalah simbol dari ‘wajah’ organisasi. Jika sang ketua umum tidak mampu menggerakkan roda organisasi atau tidak terampil menatanya, praktis wajah organisasi pun mendapat imbasnya. Implikasinya pun beragam. Secara personal kepengurusan dapat dipandang tidak mampu menjalankan amanah, secara institusional atau kelembagaan, organisasi dipandang gagal oleh para anggotanya. Dalam posisi demikian, organisasi tidak akan punya pengaruh di lingkungannya.


Ketiga, posisi ketua umum dalam pergaulan sosial memiliki daya tawar (bargain) dan daya dorong di tengah anggota dan masyarakatnya. Pemimpin yang terampil mengomunikasikan, mengelola organisasi akan mampu membawa gerbong organisasi di tengah interaksi sosial. Bukan hanya sekadar ‘papan nama’, tapi memiliki warna dan pengaruh, bahkan ikut serta memberi konstribusi positif dalam pergaulan sosial dan percaturan politik di tengah masyarakat.

Historis dan Identitas Islam
Bila kita kaitkan dengan Mubes II IKBI Kota Batam, tentu memunculkan pertanyaan besar. Mau dibawa kemanakah IKBI ke depan ? Apa yang sudah diperbuat IKBI buat umat dan masyarakat Batam kini ? Wajah IKBI yang bagaimanakah yang diharapkan mampu membawa perubahan dan perbaikan di tengah umat ?


Tidak mudah menjawabnya. Secara historis, IKBI didirikan pada tahun 1976 di Sei Jodoh, Batam, oleh para pendiri, antara lain, H Pandapotan Simatupang, Alm. Parlaungan Siregar, Alm. Ramlan Harahap, Alm. Matondang. Tujuan utamanya, begitu mulia. Yaitu, bagaimana menunjukkan identitas keislaman orang-orang etnik Batak yang muslim di tengah pergaulan sosial kemasyarakatan di Pulau Batam. Kemudian, sebagai wadah berkumpul dan bersilaturrahminya orang-orang Batak Muslim, rindu akan kampung halaman, yang umumnya berasal dari Tapanuli Selatan.


Bila dilihat dari historis pendiriannya, secara konseptual, ada dua alasan gagasan untuk melahirkan IKBI. Yaitu, ikatan primordial atau emosional berlatarbelakang etnik, dan ikatan primordial atau emosional keagamaan, yaitu Islam. Kedua ikatan tersebut ibarat dua sisi mata uang, yang tak dapat dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Titik temu kedua ikatan tersebut adalah rasa persaudaraan, dan hubungan cinta dan kasih sayang.


IKBI tidak dapat disamakan dengan organisasi massa, apalagi partai politik. Sehingga untuk memilih calon pemimpinnya pun sangat diharapkan tidak menyeretnya ke dalam “pertarungan” politik yang dapat melahirkan perpecahan. IKBI adalah organisasi paguyuban yang diikat dengan ikatan primordial etnik dan persaudaraan agama.


Pada masa awal rasa persaudaraan tersebut diwujudkan dalam bentuk yang begitu sederhana, yaitu, mendirikan serikat tolong menolong, mengurusi mayit dan fardu kifayahnya, membuat pengajian dari rumah ke rumah, dan menghidupkan seni budaya Tapanuli.


Berangkat dari ide dasar pendirian IKBI tersebut, tentu hal-hal yang relevan masih harus tetap dipertahankan. Hanya saja, dalam situasi dan perkembangan dinamika masyarakat yang begitu cukup berubah, IKBI harus mempunyai strategi baru dalam mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya di tengah masyarakat, tanpa meninggalkan identitas dirinya, sebagai paguyuban orang Batak-Islam.


Semangat IKBI adalah rasa persaudaraan dan persatuan umat. Justru itu, dalam memilih pemimpin, sangat diharapkan dilakukan dengan asas musyawarah dan mufakat. Dalam terminologi Islam disebut dengan “syura”, sebagai salah satu bentuk demokrasi. Setelah Rasullulloh Nabi Muhammad SAW wafat, para sahabat telah memberi teladan bagaimana memilih Abu Bakar Asshiddiq secara aklamasi untuk mengangkatnya sebagai khalifah pertama. Begitu juga terhadap pergantian Umar bin Khattab sampai Khalifah Ali bin Abi Thalib. Walaupun pada masa Usman dan Ali ada sedikit persegesekan, namun, praktek pergantian kepemimpinan telah dicontohkan sahabat dengan baik dalam bingkai persaudaraan dan persatuan umat.


Tanpa mengabaikan kemungkinan sistem voting dalam pengambilan keputusan, tapi, hal itu hendaknya ditempuh bila kata sepakat tak memungkinkan lagi. Pengambilan suara berdasarkan voting, sesungguhnya praktek dunia barat yang diadopsi oleh dunia timur. Sebab, asas musyawarah mufakat jauh lebih elegan dan berdampak positif bagi anggota dalam pengonsolidasian IKBI ke depan. Insya Allah, persatuan dan persaudaraan di tubuh IKBI pun akan lebih kuat bila pemimpin yang dikehendaki didukung serempak oleh semua warga.

Batam Rumah Masa Depan
Bagaimanakah IKBI menempatkan dirinya di tengah dinamika masyarakat Batam, tentu harus ada kejelasan garis demarkasinya. Sebagai bagian dari sub sistem kemasyarakatan, IKBI harus menempatkan Batam sebagai ‘rumah’ masa depannya. Ibarat kata pepatah Melayu, “ Dimana kaki dipijak, di situ langit dijunjung.”


Dengan sikap moderat dan egaliternya kultur Batak dengan nilai-nilai keislaman, warga IKBI diyakini dapat menjadikan Batam sebagai kampung halaman utamanya. Sehingga warga IKBI bertanggungjawab untuk ikut serta menjaga dan memajukan budaya di Kota Batam yang berpayungkan budaya Melayu.
Keikutsertaan warga IKBI dalam menjaga dan memajukan Batam akan terlihat sejauhmana warga IKBI dapat mendistribusikan dirinya dalam tata pergaulan sosial. Mulai dari keikutsertaannya dalam pengelolaan pemerintahan dan kemasyarakatan. Penempatan warga IKBI dalam pengelolaan kemasyarakatan bukan berarti hendak menempatkan IKBI masuk dalam mainstream kekuasaan atau kekuatan partai politik tertentu.


Politik IKBI adalah politik pewarnaan, yaitu mendistribusikan warga dan memberi kontribusi. Dimana warga IKBI dapat menempatkan dirinya dalam strata sosial apa pun, termasuk di eksekutif dan legislatif dengan memberi warna identitasnya sebagai seorang muslim. Posisi IKBI dalam hal ini adalah membuka halaman dan laluan untuk mendorong semua warganya dengan kemampuan dan skillnya masing-masing, tanpa menjebakkan dirinya dalam satu kekuatan mainstream politik atau kekuasaan.


Membawa IKBI dengan Cinta
Tentu tidak mudah memang untuk membawa gerbong IKBI yang jumlah warga dewasanya begitu banyak (antara 35.000 sd 40.000 jiwa) yang tersebar di seluruh 12 kecamatan kota Batam. Apalagi dikaitkan dengan strata sosial warga IKBI yang sebagian besar sebagai buruh di perusahaan-perusahaan industri, buruh serabutan, pedagang kaki lima, guru/ustaz, dan pengangguran. Baru sebagian kecil kini mulai masuk ke wilayah profesional, enterpreneur, pedagang, dan pemerintahan. Semuanya berharap dapat memperoleh kehidupan layak dan berarti di masyarakat.


Untuk membawa beban yang amat berat ini, tugas ketua umum IKBI ke depan tidaklah mudah dan enteng. Sebelum menggerakkan gerbong organisasi, potensi dan kekuatan yang dimiliki dan kelemahan serta kekurangan sudah dapat dipotret dan dipetakan. Pemotretan potensi dan kekuatan, kelemahan dan kekurangan, dapat dijadikan sebagai dasar pijakan awal untuk memulai menggerakkan dan mendorong IKBI dalam melaksanakan tugasnya sebagai bagian warga masyarakat. ***(Dikutip dari Batam Pos, Sabtu, 19 Januari 2008 )

0 komentar: